Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Ulumul
Qur`an
Disusun
oleh :
- Agus Saepulloh (114020007)
- Ahsan Roviq Mubarok (114020014)
- Aisyiyah Kosim (1144020015)
- Andini Muslimah (114020018)
- Anwar Sodikin (114020024)
- Deden Prabu (114020044)
- Dewi Maryani (114020049)
Komunikasi
Penyiaran Islam
Fakultas
Dakwah dan Komunikasi
Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ULUMUL QUR’AN yang berjudul “ ILMU QIRA’AT “ .
Dalam penyelesaian
makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa
pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah ULUMUL QUR’AN.
Sebagai
bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada
umumnya .
Bandung, 20 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I :
PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
BAB II : PEMBAHASAN
a. Pengertian Qiraat
b. Syarat-syarat Qiraat yang muktabar dan jenisnya
c. Macam2 qiraat
d. Tingkatan
qiraat
e. Latar belakang timbulnya perbedaan qiraat
f. pengaruh Qiraat terhadap istinbath
g. kegunaan mempelajari qiraat al quran
BAB III :
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang pertama,
sehingga kita harus memahami isi kandungannya. Oleh karena itu kita harus
benar-benar mengetahui kandungan-kandungan yang ada. Ulumul Qur’an adalah salah
satu jalan yang bisa membawa kita dalam memahami kandungan Al-Qur’an.Selain
memahami kita juga perlu mengetahui bagaimana cara membaca al-Quran yang baik
dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Qira’at
Qira’at
adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Yaitu mashdar dan qara’a.
Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab
pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai
suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Secara
istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas
tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu
yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat)
Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan
orang yang menukilkannya. Disamping
itu, Ibn al-Jazari membuat definisi berikut:
“Qira’at adalah
pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya
dengan membangsakannya kepada penukilnya”.
Menurut
Ibn al-Jazari, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qira’at dan
meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Dalam masalah qira’at banyak
hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian
secara lisan.
Al-Qari’
Al-Mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang mulai melakukan personifikasi
qira’at hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga qira’at. Al-Muntahi
(qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer
kebanyakan qira’at atau qira’at-qira’at yang paling masyhur. Al-Qur’an yang
tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masala qira’at.
Pengertian Qira’at
al-Qur’an
Secara etimologi, lafal قراءة merupakan bentuk masdar dari قرأ yang artinya bacaan. Sedangkan menurut
terminologi, terdapat berbagai pendapat menurut para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut
Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at
adalah:
“Suatu
ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang
disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf
(membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal
(menggantikan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui
indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah
“Suatu ilmu
untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang
menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh
dengan cara periwayatan.”
Berdasarkan uraian di
atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Qira’at yaitu cara pengucapan lafal-lafal
al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau
mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW,baik secara
fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan
adakalanya memiliki beberapa versi.
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan
suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada
orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam
qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan
kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca
al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu
2.
Syarat-Syarat Qira’at yang Muktabar dan Jenisnya
Untuk
menghindari
penyelewangan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat
persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan
antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah), para ulama
membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar.
Sebagian ulama
menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syadz. Menurut
mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah
qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat.
Selain itu termasuk qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh
qira’at itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi
pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yang shahih, baik
dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.
Menurut
para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian
qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik
fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima
apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.Qira’at sesuai
dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab,
dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam
membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka
ketahui.
Dalam menentukan
qira’at yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan semua mushaf,
cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
3.Qira’at itu sanadnya
harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada
penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari
aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at
bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah
beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah
terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu
syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang
lemah, syadz atau batil.
As-syuyuti
mengutip
Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam.
1. Mutawatir,
yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari
sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat
berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Qira’at ini sah dibaca di
dalam dan diluar shalat.
2. Masyhur,
yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak
sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih,
kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya
serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3. Ahad,
yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan
mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran
tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan
oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4.Syaz, yaitu
qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada
qira’at nya.
5. Maudu’,
yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at
yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan
kepada Abu Hanifah
6. Mudraj,
yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
Keempat
macam contoh qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Menurut
jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir,
seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.
Imam
Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Muhazzab bahwa
tidak sah membaca qira’at syazzah (aneh) di dalam dan di luar
shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat tidak
demikian maka orang itu salah dan jahil.
3. Macam-Macam
Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam
qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at
al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a.
Qira’at
Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang
diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn
Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal
di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: Ibn Katsir, Abu
Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b.
Qira’at
Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih,
sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan
demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama
sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan
sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
4. Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil
ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan
mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama
menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at
al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1.Harus memiliki
sanad yang shahih
2. Harus sesuai
dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. Harus sesuai
dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini
tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau
bathil. Berdasarkan
kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para
ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan.
Sebagian ulama membagi qira’at kepada
6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta.
2. Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan
sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan
Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ
الدِّيْنِ , versi lain
qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat
al-Qur’an.
5. Latar Belakang Timbulnya
Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan
pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan
tersebut. Berikut pendapat para ulama:
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan
lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi: مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain
mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai
qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya
qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat
jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya
riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat,
perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada
masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi
menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at
merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at
yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
6.
Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbath
Perbedaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan
kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistibathkannya.
Dalam
hal ini, qira’at dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail dan
cermat, perbedaan qira’at Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafadz atau
kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun adakalanya
tidak. Dengan demikian, maka perbedaan Qira’at Al-Quran adakalanya
berpengaruh terhadap istinbat hukum, dan adakalanya tidak. Qira’at shahih
(mutawatir dan masyhur) biasa dijadikan sebagai tafsir dan penjelasan serta
dasar penetapan hukum.
Pengaruh Perbedaan
Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh
perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat adalah Bahasa Arab
yang akar katanya al-nabth artinya air yang pertama kali keluar atau tampak
pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam
tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti
istikhraj mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat
yaitu:
“Mengeluarkan kandungan hukum dari
nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta
kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami
bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Mengenai obyek atau sasarannya yaitu
dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih
berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan
berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang
yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang
disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda
pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci ataukah hanya
wajib diusap dengan air..
7.
Kegunaan Mempelajari Qiraat
Keberagaman qira’at
yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terjaganya dan
terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal
Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan
umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3.Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan
makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum
syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
4.Penjelasan
terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Memperbesar.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh
al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat
memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah
asyrah. Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu
hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh
Manna’. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Aziz M. Ag, Prof. Dr.
KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Qur’an. Surabaya: IMTIYAZ
Surabaya.
Suma, H. Muhammad Amin.
2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syadali M.A, Drs.H.
Ahmad, Rof’I, Drs. H. Ahmad. 2000. UMMUL QUR’AN I. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Yusuf, Kadar M.
2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah.
Sekian Semoga Bermanfaat. Next Read Makalah Perang Salib
No comments:
Post a Comment