BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Jika kita membuka lembran sejarah, mungkin tidak ada
kejadian yang lebih memilukan dan begitu dahsyat dampak jangka panjangnya bagi
peradaban umat manusia daripada perang salib, yaitu perang yang terjadi selama
hampir 2 abad yang melibatkan seluruh kekuatan Eropa (Kristen) melawan kekuatan
muslim.
Dalam penyebaran pasukan Salib terhadap umat Islam,
menjadi fenomena yang disertai timbulnya sentimen keagamaan yang kuat. Dengan
adanya motif ini, maka membawa pengaruh besar terhadap hubungan antar pemeluk
agama Islam dan Kristen dalam waktu yang panjang.
Melihat dari beberapa
gambaran yang ada maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun Perang Salib sudah
berakhir namun pada hakekatnya belum berakhir, hal ini karena adanya perkembangan-perkembangan
selanjutnya, yang walaupun tidak dalam bentuk yang lain, yang sekaligus
merupakan suatu hubungan yang sulit untuk dipisahkan. Perang Salib adalah
penyerangan dari kefanatikan Kristen yang dikoordinir oleh Paus yang mempunyai
tujuan untuk merebut kota suci Palestina dari tangan kaum Muslimin. Selain itu,
perang ini yang disebabkan oleh beberapa faktor lain yakni faktor agama,
politik, sosial-ekonomi.
Peristiwa ini merusak
hubungan antara dunia Timur dan dunia Barat khususnya antara agama Islam dan
Kristen. Penyerbuan yang berjalan selama dua abad lamanya memakan korban baik
jiwa maupun harta dan kebudayaan yang tidak sedikit banyaknya. Selain itu,
masih banyak lagi dampak dari perang salib ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perang salib
2. Latar belakang perang salib
3. Tempat-tempat terjadinya perang salib
4. Bagaimana peristiwa perang salib
5. Dampak perang salib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perang Salib
Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang
memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11
sampai abad ke-13. Perang Salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia
Kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia, yang sejak 632 M., dianggap
sebagai pihak “penyerang”, bukan saja di Siria dan Asia kecil, tetapi juga di
Spanyol dan Sisilia.
Disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer Kristen
mempergunakan tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka sebagai
simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah
perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitulmakdis (Yerusalem)
dari tangan orang-orang Islam dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di
Timur.
Perang Salib berakhir ketika iklim politik dan agama
di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama,
melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara
Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
B. Latar
belakang terjadinya perang salib
Apakah perang salib (491-692 H/1097-1292 M)
itu? Ada yang menjawab bahwa gerakan itu tidak lepas dari rangkaian
pertentangan antara Barat dan Timur, seperti antara Persia dan Romawi, kemudian
lenyap dan meletus lagi dengan dahsyat dalam bentuk pertentangan agama antara
Islam (Timur) dan Kristen (Barat). Ada juga yang memberikan jawaban bahwa
gerakan itu tidak lepas dari rangkaian perpindahan penduduk Eropa setelah
kejatuhan imperiun Barat pada abad ke-5. Sebagian lagi menyodorkan jawaban
bahwa gerakan itu merupakan kebangkitan kembali agama di Eropa Barat yang
dimulai sejak abad ke-10 dan mencapai puncaknya pada abad ke-11.
Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di
Eropa yang memerangi umat Muslim. Serangan ke Palestina secara
berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut
Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin
di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut
bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji
mereka.
Istilah ini juga digunakan untuk
ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar
Benua Eropa, biasanya terhadap kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara
agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib
memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad
ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16
dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan
selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama,
melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara
Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap
aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih
berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan
Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti
Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan
dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel kota
yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah
perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan
menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu
menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik
internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun
mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti
persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim
dalam Perang Salib Kelima.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya perang salib, antara lain :
a.
Faktor
situasi di Eropa
Asal
mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat
sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh
Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan
Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9,
dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an
bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung
bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu
sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan
kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha
ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu
mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk
memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya
adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu
ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa
bertempur melawan pasukan Moor Islam.
Perang
Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak
pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan
sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak
saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja. Selanjutnya, “Penebusan Dosa”
adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang
yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di
Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib
tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka
percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga
pada saat mereka meninggal dunia.
b.
Faktor
situasi di Timur tengah
Keberadaan
Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap
Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya
tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau
keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini.
Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas
dikuasainya Yerusalemyang berada jauh di Timur sampai ketika mereka sendiri
mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen
lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum
Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan
Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur.
Titik
balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika
pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan
penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Penerusnya
memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan
memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi,
banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap
para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini
kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir
abad itu.
c.
Faktor
Sejarah
Peristiwa
(awal) penting terkait dengan perang salib, adalah ekspansi yang dilakukan oleh
Alp Arselan yaitu peristiwa Manzikart tahun 1071 M (464 H). Tentara Alp Arselan
yang berkkuatan 15.000 prajurit berhasil mengalahkan tentara berjumlah 200.000
orang; yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis dan
Armenia. Peristiwa inilah yang menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang kristen terhadap umat Islam.
d.
Faktor
Agama
Berbagai
literatur umumnya menuliskan bahwa faktor utama dari sisi agama ialah sejak
Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari Dinasti Fathimiyah. Ketika itu umat
Kristen merasa tidak lagi bebas untuk menunaikan ibadah ke sana. Mereka yang
pulang dari ziarah sering mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk .
Selain itu khalifah Abdul Hakim menaikkan pajak ziarah bagi orang-orang Kristen
Eropa. Hal ini memicu kemarahan Paus Urbanus II yang mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan perampokan dan sebuah kewajiban untuk merebut kembali Baitul
Maqdis . Selain itu, Paus juga menjanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan
tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Namun,
perang salib tidak terlepas dari penyebaran agama Islam ke berbagai daerah yang
menjadi kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen. Seperti halnya beberapa
kawasan Iran dan Syria (632), penaklukan Syria, Mesopotamia dan Palestina
(636), Mesir (637), penaklukan Cyprus dan Afrika Utara (645), peperangan
melawan Byzantium (646) kemudian terjadi peperangan di laut melawan Byzantium
(647) hingga musnahnya kerajaan Parsi pada tahun yang sama. Tidak hanya sampai
disitu, penyebaran Islam juga mengharuskan serangan atas Konstatinopel (677)
kemudian terjadi kembali pada 716, penaklukan Spanyol, Sind dan Transoksian
(711) hingga serangan atas bagian selatan Perancis (792). Serta berbagai
peristiwa penaklukan lainnya dalam melakukan ekspansi serta dakwah Islam.
e.
Faktor
Politik
Pada
sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif
mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma
dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja
Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni
orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam. Ketika terasa cukup sulit untuk
mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya
masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan
yaitu ummat Islam. Sasaran jangka pendeknya pun didefinisikan: pembebasan
tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun
sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam.
Sementara
itu, umat Islam justru terpecah tidak hanya secara “pandangan” terhadap agama,
namun juga hingga politik. Mereka yang bersebarangan tidak dapat bersatu padu
dalam melawan Kristen. Hingga akhirnya Sholahudin al-Ayubi datang dan
menyatukan kembali.
f.
Faktor
Sosial Ekonomi
Stratifikasi
sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri atas kaum gereja, bangsawan serta
ksatria dan rakyat jelata. Mayoritas dari mereka adalah rakyat hjelata yang
harus tunduk pada tuan tanah, terbebani pajak dan kewajiban lainnya. Gereja
memobilisir mereka untuk turut serta dalam perang salib dengan janji akan
diberi kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan
peperangan.
Masyarakat
Eropa memberlakukan dikriminasi terhadap rakyat jelata. Di Eropa ketetapan
hukum waris, bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima waris. Jika anak
tertua meninggal, maka harta waris harus diserahkan kepada gereja. Hal ini menyebabkan
anak miskin meningkat; kemudian diarahkan untuk turut berperang.
Sementara,
meluasnya daerah kekuasaan Islam berdampak pada beragam pola pemahaman, budaya
dan cara beragama. Sehingga nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin belum
dapat meresapi seluruh daerah kekuasaan Islam. Tidak sedikit perlakuan buruk
yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap orang-orang kristen; utamanya mereka
yang hendak berziarah ke Baitul Maqdis. Namun, dengan meluasnya daerah
kekuasaan, perekonomian muslim di timur tengah mengalami kemajuan yang pesat.
g.
Faktor
penyebab Langsung peperangan
Penyebab
langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada
Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi
tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan
karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh
pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert,
yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil
mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara
Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini
berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern).
Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik
Barat dengan gereja Ortodoks Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif
atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya
sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar
bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut
kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada
tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat
Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul
Maqdis.
Ketika
Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095, para pangeran Kristen
dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia,
wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama
seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan León pada tahun
1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim
merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya
di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain
selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk
dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di
lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat
dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan
kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa
Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan
ke-Kristen-an suatu Negara.
C. Peristiwa
Perang Salib
1.
Perang Salib I
Mobilisasi massa yang
dilakukan Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak
muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The
Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan
oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan
menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama
berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka
dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya
orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini
berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada
tanggal 3 Juni 1098.
Pada musim semi tahun 1095
M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Normandia, berangkat
menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh
Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18
Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Edessa.
Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun
yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan
Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil
menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan Kerajaan
Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu,
tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M),
Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County
Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selama terjadi penyerangan
di atas, kesultanan Saljuk sedang dalam kemunduran. Perselisihan antara
sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan salib merebut wilayah-wilayah kekuasaan
Islam. Dalam kondisi seperti ini muncullah seorang sultan Damaskus yang bernama
Muhammad yang berusaha mengabaikan konflik internal dan menggalang kesatuan dan
kekuatan Saljuk untuk mengusir pasukan salib. Baldwin, penguasa Yerusalem
pengganti Goldfrey, dapat dikalahkan oleh pasukan Saljuk ketika ia sedang
menyerang kota Damaskus.
Sepeninggal Sultan Mahmud,
tampillah seorang perwira muslirn yang cakap dan gagah pemberani. Ia adalah
Imaduddin Zengi, seorang anak dari pejabat tinggi Sultan Malik Syah. Atas
kecakapannya, ia menerima kepercayaan berkuasa atas kota Wasit dari Sultan
Mahmud. Ia telah mencurahkan kemampuannya dalam upaya mengembalikan kekuatan
pemerintahan Saljuk dan menyusun kekuatan militer.
Pada tahun 1144 Imaduddin
Zengi berhasil menaklukan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat
tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi.
Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
2.
Perang Salib II
Setelah kota Edessa yang
dianggap oleh pasukan Kristen sebagai kota termulya berhasil ditaklukan kembali
oleh pasukan Zengi, maka tokoh-tokoh Kristen Eropa dilanda rasa cemas. Sehingga
menyebabkan orang-orang Kristen Eropa mengobarkan Perang Salib kedua. Paus
Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis
Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk
merebut wilayah Kristen di Syria. Namun kedua pasukan ini dapat dihancurkan
ketika sedang dalam perjalanan menuju Syiria oleh pasukan Syeikh Nuruddin
Zengi. Dengan sejumlah pasukan yang tersisa mereka berusaha mencapai Antiokhia,
dan kemudian mereka menuju ke Damaskus untuk melakukan pengepungan.
Pengepungan Damaskus telah
berlangsung beberapa hari, ketika Nuruddin tiba di kota ini. Namun karena
jumlah pasukan yang sedikit, mereka terdesak oleh pasukan Nuruddin, pasukan
salib segera melarikan diri ke Palestina, sementara Conrad III dan Louis VII
kembali ke Eropa dengan tangan hampa.
Nuruddin segera mulai
memainkan peran baru sebagai sang penakluk. Tidak lama setelah mengalahkan
pasukan salib Conrad III dan Louis VII, ia berhasil menduduki benteng Xareirna,
merebut wilayah perbatasan Apamea pada tahun 544 H/1149 M, dan kota Joscelin.
Pendek kata, kota-kota penting pasukan salib berhasil dikuasainya. Ia segera
menyambut baik permohonan masyarakat Damaskus dalam perjuangan melawan penguasa
Damaskus yang menindas mereka. Keberhasilan Nuruddin menaklukkan kota damaskus
membuat sang khalifah di Bagdad brerkenan memberinya gelar kehormatan “al-Malik
al-’Adil”.
Setelah Syeikh Nuruddin
Zengi wafat pada tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi putera dari Najamuddin Ayub. Shalahuddin lahir di Takrit
pada tahun 432 H/1137 M. Ayahnya adalah pejabat kepercayaan pada masa Imaduddin
Zengi dan masa Nuruddin. Salahuddin adalah seorang letnan pada masa Nuruddin,
dan telah berhasil mengkonsolidasikan masyarakat Mesir, Nubia, Hijaz dan Yaman.
Sultan Malik Syah yang
menggantikan Nuruddin adalah raja yang masih berusia belia, sehingga
amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis poiitik
internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan salib untuk menyerang
Damaskus dan menundukkannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin
berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan salib.
Lantaran hasutan Gumusytag,
sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap Salahuddin ini
sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik Syah menghasut
masyarakat Alleppo untuk berperang melawan Salahuddin. Kekuatan Malik Syah di
Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa.tidak ada pilihan lain,
Sultan Malik Syah rneminta bantuan pasukan salib. Semenjak kemenangan melawan
pasukan salib di Aleppo ini, terbukalah jalan lurus bagi tugas dan perjuangan
Salahuddin di masa-masa mendatang hingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan.
Semenjak tahun 575H/1182M, kesultanan Saljuk di pusat mengakui kedudukan
Salahuddin sebagai sultan atas seluruh wilayah Asia Barat.
Sementara itu Baldwin III
menggantikan kedudukan ayahnya, Amaury. Baldwin III mengkhianati perjanjian
genjatan senjata antara kekuatan muslim dengan pasukan Salib-Kristen. Bahkan
pada tahun 582H/1186 M. Penguasa wilayah Kara yang bernama Reginald mengadakan
penyerbuan terhadap kabilah muslim yang sedang melintasi benteng pertahanannya.
Salahuddin segera mengerahkan pasukannya di bawah pimpinan Ali untuk mengepung
Kara dan selanjutnya menuju Galilee untuk menghadapi pasukan Perancis. Pada
tanggal 3 Juli 1187 M. kedua pasukan bertempur di daerah Hittin, di mana pihak
pasukan Kristen mengalami kekalahan. Ribuan pasukan mereka terbunuh, sedang
tokoh-tokoh militer mereka ditawan. Sultan Salahuddin selanjutnya merebut
benteng pertahanan Tiberia. Kota Acre, Naplus, Jericho, Ramla, Caesarea, Asrul
Jaffra, Beyrut, dan sejumlah kota-kota lainnya satu persatu jatuh dalam
kekuasaan Sultan Salahuddin.
Selanjutnya Salahudin
memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem, di mana ribuan rakyat muslim
dibantai oleh pasukan Salib-Kristen. Setelah mendekati kota ini, Salahuddin
segera menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib-Kristen Yerusalem
menyerah. Perintah tersebut sama sekali tidak dihiraukan, sehingga Salahuddin
bersumpah untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah
beberapa lama terjadi pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya
dan memohon kemurahan hati sang sultan. Jiwa sang sultan terlalu lembut dan
penyayang untuk melaksanakan sumpah dan dendamnya, sehingga ia pun memaafkan
mereka. Bangsa Romawi dan warga Syria-Kristen diberi hidup dan diizinkan
tinggal di Yerusalem dengan hak-hak warga negara secara penuh. Bangsa Perancis
dan bangsa-bangsa Latin diberi hak meninggalkan Palestina dengan membayar uang
tebusan 10 dinar setiap orang dewasa, dan 1 dinar untuk setiap anak-anak. Jika
tidak bersedia mereka dijadikan sebagai budak. Namun peraturan seperti ini
tidak diterapkan oleh sang sultan secara kaku. Salahuddin berkenan melepaskan
ribuan tawanan tanpa tebusan sepeser pun, bahkan ia mengeluarkan hartanya
sendiri untuk menrbantu menebus sejumlah tawanan. Salahuddin juga
membagi-bagikan sedekah kepada ribuan masyarakat Kristen yang miskin dan lemah
sebagai bekal perjalanan mereka pulang. Ia menyadari betapa pasukan
Salib-Kristen telah membantai ribuan rnasyarakat muslim yang tidak berdosa,
namun suara hatinya yang lembut tidak tega untuk melampiaskan dendam terhadap
pasukan Kristen.
Pada sisi lainnya Salahuddin
juga membina ikatan persaudaraan antara warga Kristen dengan warga muslim,
dengan memberikan hak-hak warga Kristen sama persis dengan hak-hak warga muslim
di Yerusalem. Sikap Salahuddin demikian ini membuat umat Kristen di
negeri-negeri lain ingin sekali tinggal di wilayah kekuasaan sang sultan ini.
“sejumlah warga Kristen yang meninggalkan Yerusalem menuju Antioch ditolak dan
bahkan dicaci maki oleh raja Bahemond. Mereka lalu menuju ke negeri Arab di
mana kedatangan mereka disambut dengan baik”, kata Mill. Perlakuan baik pasukan
muslim terhadap umat Kristen ini sungguh tidak ada bandingannya sepanjang
sejarah dunia. Padahal sebelumnya, pasukan Salib-Kristen telah berbuat kejam,
menyiksa dan menyakiti warga muslim.
3. Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke
tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun
rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa
raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja
Perancis memunculkan Perang Salib III.
Sementara pada masa itu, Kekhalifahan
Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab
Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi
ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan
Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini
(Salahuddin) kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti
Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil
menyatukan kedua kubu dengan damai.
Pekerjaan pertama selesai.
Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan
tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan
takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak
lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas
sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit
perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi)
dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai
jihad.
Festival ini berlangsung dua
bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar
untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan
kemiliteran.
Salahuddin berhasil
menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam.
Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre,
kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan
terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang
Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan
Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin
pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy
dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah
pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad
diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki
Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun
berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen
Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan
tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada
ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun
1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127:
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka
dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan
Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an:
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk
Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi,
kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen
pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat
rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan
keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan,
meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama
menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat
penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu
orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim
sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan
membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua
tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar
seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk
mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar
semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara
kalangan Nasrani Ortodoks–bukan bagian dari Tentara Salib-tetap dibiarkan
tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera
mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando
Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan
sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum
mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan
anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam
menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit
keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha
mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya
membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard
hingga akhirnya sembuh. Richard
terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan
berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun
menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin
membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang
dengan damai dan tidak membawa senjata. Setelah
keberangkatan Jenderal Richard, Salahuddin masih tetap tinggal di Yerusalem
dalam beberapa lama. Ia kemudian kembali ke Damaskus untuk menghabiskan sisa
hidupnya. Perjalanan panjang yang meletihkan ini mengganggu kesehatan sultan
dan akhirnya ia meninggal enam bulan setelah tercapai perdamaian, yakni pada
tahun 1193 M. Seorang penulis berkata, “Hari kematian Salahuddin merupakan
musibah bagi Islam dan ummat Islam, sungguh tidak ada duka yang melanda mereka
setelah kematian empat khalifah pertarna yang melebihi duka atas kematian
Sultan Salahuddin”.
Salahuddin bukan hanya
seorang Prajurit, ia juga seorang yang mahir dalam bidang pendidikan dan
pengetahuan. Berbagai penulis berkarya di istananya” Penulis yang ternama di
antara mereka adalah Imaduddin, sedang hakim yang termasyhur adalah al-Hakkari.
Sultan Salahuddin mendirikan berbagai lembaga pendidikan seperti madrasah,
perguruan, dan juga mendirikan sejumiah rumah sakit di wilayah kekuasaannya.
4. Perang Salib IV
Dua tahun setelah kematian
Salahuddin, berkobarlah perang salib keempat atas inisiatif Paus Innocent III.
Perang Salib Keempat (1202-1204) pada awalnya dimaksudkan untuk menaklukkan
Yerusalem yang telah dikuasai Muslim melalui suatu invasi melalui Mesir dengan
pertimbangan: (1) kekuatan Islam sudah beralih ke Mesir, karena itu Mesir harus
dikuasai dulu; (2) penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan untuk
para pedagang Italia, jika langsung menguasai Jerusalem, orang Mesir akan
melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Nil, Dimyat, dan
Alexanderia. Akan tetapi ketika tentara Salib Eropa Barat tiba di Venice (1202)
dan bersiap hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua pasukan salib diperintahkan
untuk menyerang Konstantinopel (Kristen Ortodox) pada bulan Juli 1203, dan
merebutnya pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII diangkat sebagai
Emperor Latin I di Konstantinopel. Kekuatan ini berkuasa selama 60 tahun. Ini
dipandang sebagai salah satu dari tindakan yang mengakibatkan skisma besar
antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma.
Namun sesungguhnya
peperangan antara pasukan muslim dengan pasukan Kristen telah berakhir dengan
usianya perang salib ketiga. Sehingga peperangan berikutnya tidak banyak
dikenal. Pada tahun 1195 M. pasukan salib menundukkan Sicilia, kemudian terjadi
dua kali penyerangan terhadap Syria. Pasukan kristen ini mendarat di pantai
Phoenecia dan menduduki Beirut. Anak Salahuddin yang bernama al-Adil segera
menghalau pasukan salib. Ia selanjutnya menyerang kota perlindungan pasukan
salib. Mereka kemudian mencari tempat perlindungan ke Tibinim, lantaran semakin
kuatnya tekanan dari pasukan muslim, pihak salib akhirnya menempuh inisiatif
damai. Sebuah perundingan menghasilkan kesepakatan pada tahun 1198M, bahwa
peperangan ini harus dihentikan selama tiga tahun.
5. Perang Salib V
Perang Salib Kelima
(1217–1221) adalah upaya untuk merebut kembali Yerusalem dan seluruh wilayah
Tanah Suci lainnya dengan pertama-tama menaklukkan Dinasti Ayyubiyyah yang kuat
di Mesir.
Paus Honorius III
mengorganisir Tentara Salib yang dipimpin oleh Leopold VI dari Austria dan
Andrew II dari Hongaria, dan sebuah serangan terhadap Yerusalem akhirnya
menyebabkan kota itu tetap berada di tangan pihak Muslim. Belakangan pada 1218,
sebuah pasukan Jerman yang dipimpin oleh Oliver dari Koln, dan sebuah pasukan
campuran Belanda, Vlams dan Frisia yang dipimpin oleh William I, Adipati
Belanda tiba. Untuk menyerang Damietta di Mesir, mereka bersekutu dengan
Kesultanan Rûm Seljuk di Anatolia, yang menyerang Dinasti Ayubi di Suriah dalam
upaya membebaskan Tentara Salib dari pertempuran di dua front.
Setelah menduduki pelabuhan
Damietta, para Tentara Salib berbaris ke selatan menuju Kairo pada Juli 1221,
tetapi mereka berbalik setelah pasokan mereka berkurang dan menyebabkan mereka
harus mengundurkan diri. Sebuah serangan malam oleh Sultan Al-Kamil menyebabkan
kerugian besar di kalangan Tentara Salib dan akhirnya pasukan itu pun menyerah.
Al-Kamil sepakat untuk mengadakan perjanjian perdamaian delapan tahun dengan
Mesir.
6. Perang Salib VI
Perang Salib Keenam dimulai
pada tahun (1228-1237) sebagai upaya untuk mendapatkan kembali Yerusalem. Itu
dimulai tujuh tahun setelah kegagalan Perang Salib Kelima. Frederick II, Kaisar
Romawi Suci, telah melibatkan dirinya secara luas dalam Perang Salib Kelima,
pengiriman pasukan dari Jerman, tapi ia gagal mendampingi pasukan secara
langsung, walau ada dorongan Honorius III dan kemudian Gregorius IX, saat ia
diperlukan untuk mengkonsolidasikan posisinya di Jerman dan Italia sebelum
memulai sebuah perang salib. Namun, Frederick lagi berjanji untuk pergi pada
perang salib setelah penobatannya sebagai kaisar pada 1220 oleh Paus Honorius
III.
Pada 1225 Frederick menikah
Yolande dari Yerusalem (juga dikenal sebagai Isabella), putri John dari
Brienne, calon penguasa Kerajaan Yerusalem, dan Maria dari Montferrat.
Frederick kini punya klaim pada kerajaan yang terpecah, dan mempunyai alasan
untuk berusaha memulihkannya. Pada 1227, setelah menjadi Paus Gregorius IX,
Frederick dan pasukannya berlayar dari Brindisi menuju Acre, tetapi sebuah
epidemi Frederick menyebabkan ia kembali ke Italia. Gregorius mengambil
kesempatan ini untuk mengucilkan Frederick untuk tentara salib yang melanggar
sumpah, walaupun ini hanya alasan, seperti Frederick sudah selama
bertahun-tahun telah berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaan kekaisaran di
Italia dengan mengorbankan kepausan.
Gregorius menyatakan bahwa
alasan bagi ekskomunikasi Frederick adalah keengganan untuk meneruskan perang
salib. Untuk Gregory, perang salib hanyalah alasan untuk mengucilkan kaisar.
Frederick berusaha untuk bernegosiasi dengan Paus, tapi akhirnya memutuskan
untuk mengabaikannya, dan berlayar ke Suriah pada 1228 meskipun ekskomunikasi,
dan tiba di Acre pada bulan September.
7.
Perang Salib VII
ada 1244, gabungan
Khwarezmia merebut Yerusalem dalam perjalanan mereka ke sekutu Mamluk Mesir.
Sehingga Yerusalem kembali dikuasai muslim, namun kejatuhan Yerusalem tidak
lagi merupakan sebuah peristiwa menghancurkan dunia Kristen Eropa, yang telah
melihat perpindahan kota itu dari kistiani kepada muslim ke sekian kali dalam
dua abad terakhir. Kali ini, meskipun panggilan dari Paus, tidak ada antusiasme
populer untuk perang salib baru.
Paus Innosensius IV dan
Frederick II, Kaisar Romawi Suci melanjutkan perjuangan kepausan-kekaisaran.
Frederick ditangkap dan dipenjarakan ulama dalam perjalanan ke Konsili Lyon,
dan pada 1245 ia secara resmi digulingkan oleh Innosensius IV. Paus Gregorius
IX juga telah ditawarkan sebelumnya saudara Raja Louis, pangeran Robert of
Artois, tetapi Louis menolak. Dengan demikian, Kaisar Romawi Suci tidak dalam
posisi untuk perang salib. Henry III dari Inggris itu masih berjuang dengan
Simon de Montfort dan masalah lain di Inggris. Henry dan Louis tidak dalam saat
yang terbaik, yang terlibat dalam Capetia-Plantagenet perjuangan, dan sementara
Louis sedang pergi berperang raja Inggris menjanjikan menandatangani gencatan
senjata untuk tidak menyerang tanah Perancis. Louis IX juga mengundang Raja
Haakon IV dari Norwegia untuk perang salib, mengirim penulis sejarah inggris
Matius Paris sebagai seorang duta besar, tapi sekali lagi tidak berhasil.
Satu-satunya orang yang tertarik memulai perang salib yang lain karena itu
Louis IX, yang menyatakan niat untuk pergi ke arah timur pada tahun 1245.
Perang Salib Ketujuh
(1248-1254) adalah perang salib yang dipimpin oleh Louis IX dari Perancis.
Sekitar 50.000 bezant emas (suatu jumlah yang setara dengan seluruh pendapatan
tahunan dari Perancis) dijadikan tebusan untuk membebaskan Raja Louis yang
bersama dengan ribuan pasukannya, ditangkap dan dikalahkan oleh pasukan Mesir
yang dipimpin oleh Sultan Ayyubiyah Turansyah didukung oleh Bahariyya Mamluk
dipimpin oleh Faris ad-Din Aktai, Baibars al-Bunduqdari, Qutuz, Aybak dan
Qalawun.
8.
Perang Salib VIII
Perang Salib terakhir juga
dipimpin oleh Louis IX. Di tahun-tahun kemudian, perubahan di dunia Muslim
mengakibatkan munculnya sejumlah serangan baru ke wilayah Kristen di Tanah
Kudus. Warga lokal meminta bantuan militer pada Barat, tapi cuma sedikit bangsa
Eropa yang tertarik untuk melakukan kampanye besar. Satu orang yang sekali lagi
mau memanggul beban adalah Louis IX. Namun kampanye yang dia lakukan kali ini
mencapai kurang dari apa yang dicapai sebelumnya bagi Kerajaan Yerusalem.
Tidak diketahui mengapa,
tapi Tunisia di Afrika Utara dijadikan sasaran awal. Setelah disana, wabah
peyakit mengambil nyawa banyak orang, termasuk Louis serta saudaranya, Charles
Anjou, tiba dengan kapal-kapal Sisilia dan berhasil mengungsikan sisa tentara.
Meskipun ini adalah Perang
Salib terakhir, ini bukanlah ekspidisi militer terakhir yang bisa disebut
sebagai Perang Salib. Kampanya terus diserukan atas berbagai sasaran (bukan
hanya Muslim) oleh Prajurit Salib-orang yang berkaul untuk melakukan perang.
Umat Kristen di Palestina
ditinggalkan tanpa bantuan lebih lanjut. Meskipun mengalami kekalahan terus
menerus, Kerajaan Yerusalem tetap bertahan sampai 1291, ketika akhirnya musnah.
Umat Kristen masih tetap hidup di daerah tersebut bahkan setelah kejatuhan
Kerajaan Yerusalem.
D. Dampak
dari Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu
yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang
bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan
teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi
pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji
hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat
positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan
pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan
peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah
mereka bayangkan sebelumnya.”
Perang salib menghabiskan aset umat Islam
baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh
kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena
perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan
terjadi karena umat Islam menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang
sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan
karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Namun, peperangan salib selama kurang lebih
200 tahun telah memberikan warna kepada dunia Islam dan Kristen. Utamanya dalam
bidang pemikiran, peradaban, ilmu dan teknologi. Bahkan, sejarah mencatat bahwa
perang salib merupakan jembatan awal antara kebudayaan Islam dan bangsa Eropa.
Meskipun terdapat luka sejarah dan sensitifitas yang mengiringi pertautan dua
peradaban tersebut. Dan tetap membekas hingga saat ini dimana kurang lebih 8
abad perang salib telah berlalu.
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang
semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian
terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi
Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks Timur.
Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota
Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut
serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal
dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang
melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau
bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos
masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu. Ada beberapa dampak perang Salib,
antara lain dalam bidang :
a.
Politik
dan Budaya
Perang
Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu,
sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada
abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa
modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan
Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang
salib.
Meski
benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui
hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di
bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke
dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman
militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya,
kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan
besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya
Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama
perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai
timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan
lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di
universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance
pada abad-abad berikutnya.
b.
Perdagangan
Kebutuhan
untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan
perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah
digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan
disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan
saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih
karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk
dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali,
karena banyak Negara kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan
perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di
Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan
perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal
atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk
berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang
kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia
lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan
untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan
kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh
kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox
Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal,
penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium adalah
negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil
alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi
sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat
apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai
perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen
secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat
disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua
pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama
dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam
dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks
inilah, Perang Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua
untuk memperoleh bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang
utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan
secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
c.
Dunia
Islam
Perang
salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia
Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib”
meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan
Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21,
sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme
masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang
salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan
keji oleh kaum Kristen Eropa
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang menarik untuk dikaji adalah Yerusalem
bagi bayak ahli sejarah dilihat sebagai faktor yang cukup dominan dalam
penggagasan perang salib, namun kelihatanya cukup sepele dan sederhana kalau
upaya pengamanan peziarah yang dikedepankan dalam menggagas perang salib
tersebut terutama jika dibandingkan dengan pengorbanan daya dan dana yang
dibutuhkan untuk ekspedisi militer pada waktu itu. Saya lebih melihat bahwa isu
Yerusalem dijadikan pemicu semangat para tentara salib sementara faktor penentu
dalam hal ini adalah murni politik yakni upaya pembentengan diri dari ancaman
yang sudah semakin mendekati jantung kekuasaan Eropa disatu sisi dan disisi
lain adalah interes internal politik gereja (katolik) untuk menyatukan
negara-negara kristen katolik yang pada saat itu tengah berperang. Sehingga
perang salib digunakan sebagai alat untuk menyatukan gereja kristen barat
(Roma) dan timur (konstantinopel).
Demikian selintas kisah
dari Perang Salib yang telah mengubah wajah dunia pada abad pertengahan yang
berpengaruh hingga sekarang. Sebelum Perang Salib, pemeluk agama Kristen dan
Yahudi bisa hidup berdampingan di Palestina dan sekitarnya di bawah naungan
Daulah Islamiyah. Tetapi setelah kedahsyatan Perang Salib yang memakan waktu
sampai dua abad lamanya, telah mampu mengubah situasi harmoni masa lalu.
Perang Salib telah menyisakan perasaan,
dendam, curiga, waspada, was-was, dan rasa terancam yang menghantuinya. Dengan
logika ini, kita bisa menemukan alasan mengapa George W. Bush mantan penguasa
nomor satu Negara Adi Daya itu mengkaitkan isu terorisme internasional di Irak
sebagai kelanjutan Perang Salib Modern.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hikmat Darmawan, Perang suci: Dari Perang
Salib Hingga Perang Teluk, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2003
2. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban
Dunia., Gramedia :1995.
3. Kuntowijoyo , Metodologi
Sejarah, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana,2003.
4. Sanusi, ahmad. Relasi Damai Islam
Kristen. Pustaka Alvabet , 2001.
6. Kumoro, Bawono, Hamas Ikon Perlawanan
Islam Terhadap Zionisme Israel. Mizan Pustaka.
8. Hitti Philip, Rujukan induk dan
paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam. Penerbit Serambi, 2005.
9. Abdurrahman, Dudung dkk,
Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern, Yogyakarta : Penerbit LESFI, 2003.
12. Sanusi, ahmad. Relasi Damai Islam Kristen.
Pustaka Alvabet , 2001. Hal 92
13. Kuntowijoyo , Metodologi
Sejarah, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana,2003. Hal 57