Makalah Qira'at Al-Qur'an


Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Ulumul Qur`an
Disusun oleh :
            1. Agus Saepulloh (114020007)
            2.  Ahsan Roviq Mubarok (114020014)
            3.  Aisyiyah Kosim (1144020015)
            4.  Andini Muslimah (114020018)
            5.  Anwar Sodikin (114020024)
            6.  Deden Prabu (114020044)
            7. Dewi Maryani (114020049)

Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2014

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat  menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ULUMUL QUR’AN yang berjudul “ ILMU QIRA’AT “ .
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah ULUMUL QUR’AN.
            Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .







Bandung, 20 November  2014


        Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
BAB II : PEMBAHASAN
aPengertian Qiraat
b. Syarat-syarat Qiraat yang muktabar dan jenisnya 
c.  Macam2 qiraat
d.  Tingkatan qiraat
e.  Latar belakang timbulnya perbedaan qiraat
     f. pengaruh Qiraat terhadap istinbath 
g.  kegunaan mempelajari qiraat al quran 
BAB III : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

a.     Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang pertama, sehingga kita harus memahami isi kandungannya. Oleh karena itu kita harus benar-benar mengetahui kandungan-kandungan yang ada. Ulumul Qur’an adalah salah satu jalan yang bisa membawa kita dalam memahami kandungan Al-Qur’an.Selain memahami kita juga perlu mengetahui bagaimana cara membaca al-Quran yang baik dan benar.


BAB II
PEMBAHASAN

a.     Pengertian Qira’at
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Yaitu mashdar  dan qara’a. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya. Disamping itu, Ibn al-Jazari membuat definisi berikut:
“Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”.
Menurut Ibn al-Jazari, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qira’at dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Dalam masalah qira’at banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan.

Al-Qari’ Al-Mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang mulai melakukan personifikasi qira’at hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga qira’at. Al-Muntahi (qari tingkat akhir) ialah orang yang  mentransfer kebanyakan qira’at atau qira’at-qira’at yang paling masyhur. Al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masala qira’at.

Pengertian Qira’at al-Qur’an

                Secara etimologi, lafal قراءة  merupakan bentuk masdar dari  قرأ  yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat menurut  para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.

Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah:
 “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”

Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah
 “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”


Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
Qira’at yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau   sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW,baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.

Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.

2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.

3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu

2.     Syarat-Syarat Qira’at yang Muktabar dan Jenisnya  

Untuk menghindari penyelewangan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar.
   Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat. Selain itu termasuk qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yang shahih, baik dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.
Menurut para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
Dalam menentukan qira’at yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
3.Qira’at itu sanadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.

Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
As-syuyuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam.
1. Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat.
2. Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3. Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4.Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya.
5. Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu Hanifah
6. Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
Keempat macam contoh qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Menurut jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat. 
Imam Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Muhazzab  bahwa tidak sah membaca qira’at syazzah (aneh) di dalam dan di luar shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat tidak demikian maka orang itu salah dan jahil.

3.     Macam-Macam Qira’at

Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.

a.       Qira’at Sab’ah

Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .

b.      Qira’at Syazzat

            Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab


4.     Tingkatan Qira’at

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1.Harus memiliki sanad yang shahih
2. Harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. Harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.

Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil. Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan.

Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ  (الفاتحة:4)
5. Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.

5.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at 

Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:

1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:

مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi: مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ

2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).


3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.

4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.

5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.

6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.

6.      Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbath

Perbedaan antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistibathkannya.
Dalam hal ini, qira’at dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail dan cermat, perbedaan qira’at Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafadz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun adakalanya tidak. Dengan demikian, maka  perbedaan Qira’at Al-Quran adakalanya berpengaruh terhadap istinbat hukum, dan adakalanya tidak. Qira’at shahih (mutawatir dan masyhur) biasa dijadikan sebagai tafsir dan penjelasan serta dasar penetapan hukum.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum

Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.

Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SA‎WT:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air..

7.      Kegunaan Mempelajari Qiraat

Keberagaman qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya  kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3.Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
4.Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Memperbesar.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah. Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Aziz M. Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Qur’an. Surabaya: IMTIYAZ Surabaya.
Suma, H. Muhammad Amin. 2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syadali M.A, Drs.H. Ahmad, Rof’I, Drs. H. Ahmad. 2000. UMMUL QUR’AN I. Bandung: CV Pustaka Setia.
Yusuf, Kadar M. 2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah.

Sekian Semoga Bermanfaat. Next Read Makalah Perang Salib

Kisah Nabi Muhammad S.A.W


Pada waktu umat manusia dalam kegelapan dan suasana jahiliyyah, lahirlah seorang bayi pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah. Bayi yang dilahirkan bakal membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban manusia. Bapa bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib yang telah wafat sebelum baginda dilahirkan iaitu sewaktu baginda 7 bulan dalam kandungan ibu. Ibunya bernama Aminah binti Wahab. Kehadiran bayi itu disambut dengan penuh kasih sayang dan dibawa ke ka'abah, kemudian diberikan nama Muhammad, nama yang belum pernah wujud sebelumnya.

Selepas itu Muhammad disusukan selama beberapa hari oleh Thuwaiba, budak suruhan Abu Lahab sementara menunggu kedatangan wanita dari Banu Sa'ad. Adat menyusukan bayi sudah menjadi kebiasaan bagi bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Akhir tiba juga wanita dari Banu Sa'ad yang bernama Halimah bin Abi-Dhuaib yang pada mulanya tidak mahu menerima baginda kerana Muhammad seorang anak yatim. Namun begitu, Halimah membawa pulang juga Muhammad ke pedalaman dengan harapan Tuhan akan memberkati keluarganya. Sejak diambilnya Muhammad sebagai anak susuan, kambing ternakan dan susu kambing-kambing tersebut semakin bertambah. Baginda telah tinggal selama 2 tahun di Sahara dan sesudah itu Halimah membawa baginda kembali kepada Aminah dan membawa pulang semula ke pedalaman.
Kisah Dua Malaikat dan Pembedahan Dada Muhammad

Pada usia dua tahun, baginda didatangi oleh dua orang malaikat yang muncul sebagai lelaki yang berpakaian putih. Mereka bertanggungjawab untuk membedah Muhammad. Pada ketika itu, Halimah dan suaminya tidak menyedari akan kejadian tersebut. Hanya anak mereka yang sebaya menyaksikan kedatangan kedua malaikat tersebut lalu mengkhabarkan kepada Halimah. Halimah lantas memeriksa keadaan Muhammad, namun tiada kesan yang aneh ditemui.

Muhammad tinggal di pedalaman bersama keluarga Halimah selama lima tahun. Selama itu baginda mendapat kasih sayang, kebebasan jiwa dan penjagaan yang baik daripada Halimah dan keluarganya. Selepas itu baginda dibawa pulang kepada datuknya Abdul Mutallib di Makkah.

Datuk baginda, Abdul Mutallib amat menyayangi baginda. Ketika Aminah membawa anaknya itu ke Madinah untuk bertemu dengan saudara-maranya, mereka ditemani oleh Umm Aiman, budak suruhan perempuan yang ditinggalkan oleh bapa baginda. Baginda ditunjukkan tempat wafatnya Abdullah serta tempat dia dikuburkan.

Sesudah sebulan mereka berada di Madinah, Aminah pun bersiap sedia untuk pulang semula ke Makkah. Dia dan rombongannya kembali ke Makkah menaiki dua ekor unta yang memang dibawa dari Makkah semasa mereka datang dahulu. Namun begitu, ketika mereka sampai di Abwa, ibunya pula jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia lalu dikuburkan di situ juga.
Muhammad dibawa pulang ke Makkah oleh Umm Aiman dengan perasaan yang sangat sedih. Maka jadilah Muhammad sebagai seorang anak yatim piatu. Tinggallah baginda dengan datuk yang dicintainya dan bapa-bapa saudaranya.

"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk" (Surah Ad-Dhuha, 93: 6-7)
Abdul Mutallib Wafat

Kegembiraannya bersama datuk baginda tidak bertahan lama. Ketika baginda berusia lapan tahun, datuk baginda pula meninggal dunia. Kematian Abdul Mutallib menjadi satu kehilangan besar buat Bani Hashim. Dia mempunyai keteguhan hati, berwibawa, pandangan yang bernas, terhormat dan berpengaruh dikalangan orang Arab. Dia selalu menyediakan makanan dan minuman kepada para tetamu yang berziarah dan membantu penduduk Makkah yang dalam kesusahan.
Muhammad diasuh oleh Abu Talib

Selepas kewafatan datuk baginda, Abu Talib mengambil alih tugas bapanya untuk menjaga anak saudaranya Muhammad. Walaupun Abu Talib kurang mampu berbanding saudaranya yang lain, namun dia mempunyai perasaan yang paling halus dan terhormat di kalangan orang-orang Quraisy.Abu Talib menyayangi Muhammad seperti dia menyayangi anak-anaknya sendiri. Dia juga tertarik dengan budi pekerti Muhammad yang mulia.

Pada suatu hari, ketika mereka berkunjung ke Syam untuk berdagang sewaktu Muhammad berusia 12 tahun, mereka bertemu dengan seorang rahib Kristian yang telah dapat melihat tanda-tanda kenabian pada baginda. Lalu rahib tersebut menasihati Abu Talib supaya tidak pergi jauh ke daerah Syam kerana dikhuatiri orang-orang Yahudi akan menyakiti baginda sekiranya diketahui tanda-tanda tersebut. Abu Talib mengikut nasihat rahib tersebut dan dia tidaak banyak membawa harta dari perjalanan tersebut. Dia pulang segera ke Makkah dan mengasuh anak-anaknya yang ramai. Muhammad juga telah menjadi sebahagian dari keluarganya. Baginda mengikut mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dan mendengar sajak-sajak oleh penyair-penyair terkenal dan pidato-pidato oleh penduduk Yahudi yang anti Arab.

Baginda juga diberi tugas sebagai pengembala kambing. Baginda mengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Baginda selalu berfikir dan merenung tentang kejadian alam semasa menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu baginda jauh dari segala pemikiran manusia nafsu manusia duniawi. Baginda terhindar daripada perbuatan yang sia-sia, sesuai dengan gelaran yang diberikan iaitu "Al-Amin".

Selepas baginda mula meningkat dewasa, baginda disuruh oleh bapa saudaranya untuk membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid, seorang peniaga yang kaya dan dihormati. Baginda melaksanakan tugasnya dengan penuh ikhlas dan jujur. Khadijah amat tertarik dengan perwatakan mulia baginda dan keupayaan baginda sebagai seorang pedagang. Lalu dia meluahkan rasa hatinya untuk berkahwin dengan Muhammad yang berusia 25 tahun ketika itu. Wanita bangsawan yang berusia 40 tahun itu sangat gembira apabila Muhammad menerima lamarannya lalu berlangsunglah perkahwinan mereka berdua. Bermulalah lembaran baru dalam hidup Muhammad dan Khadijah sebagai suami isteri.
Turunnya Wahyu Pertama

Pada usia 40 tahun, Muhammad telah menerima wahyu yang pertama dan diangkat sebagai nabi sekelian alam. Ketika itu, baginda berada di Gua Hira' dan sentiasa merenung dalam kesunyian, memikirkan nasib umat manusia pada zaman itu. Maka datanglah Malaikat Jibril menyapa dan menyuruhnya membaca ayat quran yang pertama diturunkan kepada Muhammad.

"Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan" (Al-'Alaq, 96: 1)

Rasulullah pulang dengan penuh rasa gementar lalu diselimuti oleh Khadijah yang cuba menenangkan baginda. Apabila semangat baginda mulai pulih, diceritakan kepada Khadijah tentang kejadian yang telah berlaku.

Kemudian baginda mula berdakwah secara sembunyi-sembunyi bermula dengan kaum kerabatnya untuk mengelakkan kecaman yang hebat daripada penduduk Makkah yang menyembah berhala. Khadijah isterinya adalah wanita pertama yang mempercayai kenabian baginda. Manakala Ali bin Abi Talib adalah lelaki pertama yang beriman dengan ajaran baginda.Dakwah yang sedemikian berlangsung selama tiga tahun di kalangan keluarganya sahaja.
Dakwah Secara Terang-terangan

Setelah turunnya wahyu memerintahkan baginda untuk berdakwah secara terang-terangan, maka Rasulullah pun mula menyebarkan ajaran Islam secara lebih meluas.

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (Al-Hijr, 15:94)

Namun begitu, penduduk Quraisy menentang keras ajaran yang dibawa oleh baginda. Mereka memusuhi baginda dan para pengikut baginda termasuk Abu Lahab, bapa saudara baginda sendiri. Tidak pula bagi Abu Talib, dia selalu melindungi anak saudaranya itu namun dia sangat risau akan keselamatan Rasulullah memandangkan tentangan yang hebat dari kaum Quraisy itu. Lalu dia bertanya tentang rancangan Rasulullah seterusnya. Lantas jawab Rasulullah yang bermaksud:

"Wahai bapa saudaraku, andai matahari diletakkan diletakkan di tangan kiriku dan bulan di tangan kananku, agar aku menghentikan seruan ini, aku tidak akan menghentikannya sehingga agama Allah ini meluas ke segala penjuru atau aku binasa kerananya"

Baginda menghadapi pelbagai tekanan, dugaan, penderitaan, cemuhan dan ejekan daripada penduduk-penduduk Makkah yang jahil dan keras hati untuk beriman dengan Allah. Bukan Rasulullah sahaja yang menerima tentangan yang sedemikian, malah para sahabatnya juga turut merasai penderitaan tersebut seperti Amar dan Bilal bin Rabah yang menerima siksaan yang berat.
Wafatnya Khadijah dan Abu Talib

Rasulullah amat sedih melihat tingkahlaku manusia ketika itu terutama kaum Quraisy kerana baginda tahu akan akibat yang akan diterima oleh mereka nanti. Kesedihan itu makin bertambah apabila isteri kesayangannya wafat pada tahun sepuluh kenabiaannya. Isteri bagindalah yang tidak pernah jemu membantu menyebarkan Islam dan mengorbankan jiwa serta hartanya untuk Islam. Dia juga tidak jemu menghiburkan Rasulullah di saat baginda dirundung kesedihan.

Pada tahun itu juga bapa saudara baginda Abu Talib yang mengasuhnya sejak kecil juga meninggal dunia. Maka bertambahlah kesedihan yang dirasai oleh Rasulullah kerana kehilangan orang-orang yang amat disayangi oleh baginda.
Hijrah Ke Madinah

Tekanan orang-orang kafir terhadap perjuangan Rasulullah semakin hebat selepas kepergian isteri dan bapa saudara baginda. Maka Rasulullah mengambil keputusan untuk berhijrah ke Madinah berikutan ancaman daripada kafir Quraisy untuk membunuh baginda.

Rasulullah disambut dengan meriahnya oleh para penduduk Madinah. Mereka digelar kaum Muhajirin manakala penduduk-penduduk Madinah dipanggil golongan Ansar. Seruan baginda diterima baik oleh kebanyakan para penduduk Madinah dan sebuah negara Islam didirikan di bawah pimpinan Rasulullas s.a.w sendiri.
Negara Islam Madinah

Negara Islam yang baru dibina di Madinah mendapat tentangan daripada kaum Quraisy di Makkah dan gangguan dari penduduk Yahudi serta kaum bukan Islam yang lain. Namun begitu, Nabi Muhammad s.a.w berjaya juga menubuhkan sebuah negara Islam yang mengamalkan sepenuhnya pentadbiran dan perundangan yang berlandaskan syariat Islam. Baginda dilantik sebagai ketua agama, tentera dan negara. Semua rakyat mendapat hak yang saksama. Piagam Madinah yang merupakan sebuah kanun atau perjanjian bertulis telah dibentuk. Piagam ini mengandungi beberapa fasal yang melibatkan hubungan antara semua rakyat termasuk kaum bukan Islam dan merangkumi aspek politik, sosial, agama, ekonomi dan ketenteraan. Kandungan piagam adalah berdasarkan wahyu dan dijadikan dasar undang-undang Madinah.

Islam adalah agama yang mementingkan kedamaian. Namun begitu, aspek pertahanan amat penting bagi melindungi agama, masyarakat dan negara. Rasulullah telah menyertai 27 kali ekspedisi tentera untuk mempertahan dan menegakkan keadilan Islam. Peperangan yang ditempuhi baginda ialah Perang Badar (623 M/2 H), Perang Uhud (624 M/3 H), Perang Khandak (626 M/5 H) dan Perang Tabuk (630 M/9 H). Namun tidak semua peperangan diakhiri dengan kemenangan.

Pada tahun 625 M/ 4 Hijrah, Perjanjian Hudaibiyah telah dimeterai antara penduduk Islam Madinah dan kaum Musyrikin Makkah. Maka dengan itu, negara Islam Madinah telah diiktiraf. Nabi Muhammad s.a.w. juga telah berjaya membuka semula kota Makkah pada 630 M/9 H bersama dengan 10 000 orang para pengikutnya.

Perang terakhir yang disertai oleh Rasulullah ialah Perang Tabuk dan baginda dan pengikutnya berjaya mendapat kemenangan. Pada tahun berikutnya, baginda telah menunaikan haji bersama-sama dengan 100 000 orang pengikutnya. Baginda juga telah menyampaikan amanat baginda yang terakhir pada tahun itu juga. Sabda baginda yang bermaksud:

"Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahawa Tuhan kamu Maha Esa dan kamu semua adalah daripada satu keturunan iaitu keturunan Nabi Adam a.s. Semulia-mulia manusia di antara kamu di sisi Allah s.w.t. ialah orang yang paling bertakwa. Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara dan kamu tidak akan sesat selama-lamanya selagi kamu berpegang teguh dengan dua perkara itu, iaitu kitab al-Quran dan Sunnah Rasulullah."
Wafatnya Nabi Muhammad s.a.w

Baginda telah wafat pada bulan Jun tahun 632 M/12 Rabiul Awal tahun 11 Hijrah. Baginda wafat setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai rasul dan pemimpin negara. Baginda berjaya membawa manusia ke jalan yang benar dan menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab, berilmu dan berkebolehan. Rasulullah adalah contoh terbaik bagi semua manusia sepanjang zaman.